Senin, 04 November 2013
Pasca Tragedi Kenji Goto Beginilah Kehidupan Muslim Jepang
Semua mata publik Jepang, terutama pada hari-hari pertama setelah ISIS mengumumkan akan membunuh dua warga Jepang yang disandera, seolah memandang sinis Muslim -- warga Jepang atau imigran -- di negeri berpenduduk Shinto serta Buddha itu.
Namun penampilan Musa Omar, direktur eksekutif Islamic Center di Tokyo serta imam Masjid Tokyo (Tokyo Camii), mengubah segalanya. Musa Omar secara khusus menampilkan wajah Islam yang toleran, dengan mengutuk pembunuhan Goto serta Yukawa serta menyebut tindakan ISIS bukan perilaku Islam.
Publik Jepang merespon dengan memperlihatkan toleransinya, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan negara mana pun di mana Muslim merupakan minoritas.
"Orang-orang Jepang terbuka terhadap Islam," ujar Musa Omar dalam wawancara dengan Japan Times. "Mereka sadar apa pun prasangka buruk terhada Islam berasal dari Barat."
Muslim Jepang amat kecil, cuma 100 ribu dari 122 juta penduduk negeri itu. Ada sekitar 200 masjid di sekujur Jepang, serta kebanyakan berdiri atas inisiatif pribadi.
Masjid tertua dibangun di Nagoya, yang dibangun tahun 1931. Yang terbesar merupakan Tokyo Camii -- masjid berarsitektur Ottoman.
Agama Islam diperkirakan masuk ke Jepang kali pertama abad ke-8 tetapi tak berkembang, karena politik isolasi yang dijalankan para shogun. Abad ke-19, setelah Jepang lebih terbuka, pedagang-pedagang India serta pelaut Melayu berkeliaran di pelabuhan-pelabuhan Jepang.
Hari ini, kafetaria universitas, hotel serta restoran, menawarkan pilihan makanan halal. Ada mushalla di bandara, kantor-kantor perusahaan, serta serta lebih 100 asosiasi Islam serta pengajian.
Tahun 2013, PM Shinzo Abe ngobrol perihal 'ikatan terputus' Jepang serta dunia Islam.
Sejak 1980-an, Jepang berkenalan secara intensif dengan Islam lewat turis, pertukaran pelajar, serta aliran pekerja dari Pakistan, Malaysia, serta Indonesia. tak sedikit di antara mereka menikah dengan warga Jepang serta menetap.
Nyaris tak terdengar sentimen anti-Islam yang disertai insiden. Namun, video pembunuhan Yukawa serta Goto mengubah segalanya.
"ISIS, lewat video pembunuhan dua warga Jepang, dikhawatirkan menimbulkan kesan negatif warga negeri ini terhadap Islam," ujar Ryoichi Matsno, profesor psikologi dari Universtias Media Chuo pada Asahi Shimbun.
Psikiater Rika Kayama mengatakan; "Saya khawatir sikap hormat masyarakat Jepang terhadap kepercayaan orang lain akan hilang." Kayama menyesalkan kenapa tawaran negosiasi yang dilayangkan pemerintah Jepang tak direspon positif oleh ISIS.
Muslim Jepang tahu semua itu, serta dihantui kekhawatirkan akan munculnya sentimen anti-Islam yang disertai insiden. Mereka berupaya mencegah semua itu, dengan memperlihatkan 'wajah Muslim Jepang' sesungguhnya di depan publik.
Akhir pekan lalu, misalnya, Muslim Jepang berkumpul di Islamic Trust di Tokyo untuk berdoa bagi keselamatan Goto, meski sesi doa berubah jadi isak tangis dikala terdengar sang wartawan dibunuh.
Haroon Qureshi, sekretaris jenderal Islamic Trust, tak berhenti mengusap air mata. "Kami amat menyesalkan. Kami bekerja serta berdoa untuk kebebasan Yukawa serta Goto," ujar Qureshi pada Mainichi Shimbun.
Jepang tak terlibat memerangi ISIS, serta tak pernah memusuhi Islam. Bantuan Tokyo untuk AS serta koalisi bersifat non-militer, serta terbatas untuk kemanusiaan.
Namun pembunuhan Goto serta Yukawa membuat sikap pemerintah Jepang berubah. Tokyo mengevaluasi respon terhadap terorisme, serta memperkenalkan langkah-langkah keamanan baru di semua pintu masuk serta keluar dari serta ke Jepang.
Sekretaris Kabibet Yoshihide Suga mengatakan Tokyo telah mengadakan pertemuan anti-terorisme, yang secara khusus membahas keamanan Olimpiade 2020.
Jepang pun menggunakan krisis sandera ini untuk meningkatkan proyeksi militernya di luar negeri, meski Pasukan Bela Diri Jepang terkungkung konstitusi pasifis pasca-Perang Dunia II.
Muslim Jepang sadar mereka sekarang hidup di negeri yang sedang marah, serta di tengah publik yang setiap waktu dapat meledak serta melampiaskan kekesalan terhadap Islam dengan menyerang mereka. Namun, mereka masih percaya Jepang yang mereka kenal merupakan masyarakat yang tetap ramah serta tak terkontaminasi propaganda Barat.
Mohsem Bayoumi, ulama yang berbasis di Ibaraki, mengatakan pada Japan Times; "Kami tak akan pernah bersembunyi. Silahkan datang ke sini, serta ngobrol dengan kami."
Ia melanjutkan; "Allah menakdirkan kita untuk memiliki relasi sebagai keluarga, tetangga, serta saling menghormati, menciptakan masyarakat yang damai."
Sumber: inilah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar